BUDAYA RUWAT SELAMATAN BUMI
- LATAR BELAKANG
Tradisi ini ada sejak zaman dulu,khususnya didesa
PRENDENGAN,kec. Banjarmangu, kab. Banjarnegara. Menurut cerita warga setempat
tradisi ini bermulai dengan kejadian pada masa lampau, yang pada waktu itu, di
desa ini mengalami kekringan yang cukup lama, dan juga disertai hama tikus yang
menyerang tanaman padi, sehingga pada tahun tersebut warga desa ini gagal
panen, dan apabila kejadian ini dibiarkan begitu saja akan berakibat tidak
baik.
Maka ditengah kebimbangan masyarakat, ada seorang
tokoh yang memang dihormati pada kala itu, ia mengusulkan bagaimana jika
masyarakat mengadakan acara ruwatan dengan tujuan untuk mensyukuri nikmat yang
telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan serta untuk berharap kemakmuran
dikehidupan generasi selanjutnya.
Dengan demikian diadakanlah perkumpulan desa, dengan
tujuan merundingkan pendapat salah satu tokoh tersebut,dan akhirnya pendapat
ini disetujui oleh masyarakat setempat, mereka berfikiran apa salahnya mencoba,
selagi hal ini masih bisa dikatakan baik, justru akan membawa kemaslahatan bagi
kehidupan mereka. Hingga sekarang perlu disyukuri karena peristiwa kemarau
berkepanjangan dan hama tikus yang tersebut tidak menyerang kembali, maka acara
ruwatan ini masih dijalankan sebagai salah satu ungkapan rasa syukur.
- TEKNIS PELAKSANAAN
Budaya ruwatan ini biasanya dilaksanakan pada
tanggal 1 suro, “memilih tanggal ini karena menurut pada tanggal ini lebik baik
dari tanggal lain, alasanya, selain ini awal tahun baru, mudah diingat, dan doa
yang nanti akan dipanjatkan bertujuan untuk mensyukuri nikmat tahun lalu, dan
mengharap barokah pada tahun selanjutnya yang dimulai pada tanggal 1 bulan
assuro/muharom”. Diungkapakan oleh
bpk.amin, 1/12/2012, salah satu warga desa.
Acara
ini diawali dengan kegiatan tahlilan pada malam tanggal satunya,dan pada siang
tanggal satunya ada pergelaran seni (kuda lumping), pertunjukan ini berlangsung
hingga sore hari,dan malam tanggal 2 dilanjutkan dengan pergelaran wayang dan
sekaligus disertai dengan penampilan budaya ‘lengger’,dan dilanjutkan deng
pembacaan doa.
Doa ini biasanya dipimpin oleh sang dalang wayang
tersebut. Acara ini berlanjut hingga biasanya pada pukul 03.00 pagi hari,perlu
diketahui bahwa pergelaran budaya disini bukan sekedar hiburan semata, tetapi
ada pesan tersirat seperti halnya menanamkan moral dan perilaku yang menjadi
teladan bagi setiap orang yang menyaksikan khusunya pada pergelaran budaya
wayang.
Pada tanggal
2 tersebut adalah puncaknya acara ini,biasanya, para ibu rumah tangga
menyajikan makanan sejenis tumpeng,dan berkumpul di sepanjang jalan(gang),akan
tetapi yang ikut berkumpul bukan hanya ibu ibu yang menyediakan tumpeng saja,
anak-anak juga ikut serta,setelah semua berkumpul kemudian ada seorang tokoh
masyarakat yang masuk kedalam masjid pusat desa,lalu membaca doa, doa tersebut
ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai ucapan rasa syuku,r salah satunya
syukur atas selamatnya bumi yang kita pijak. Setelah doa selesai dipanjatkan,
biasanya mereka saling bertukar makanan satu sama lain, hal ini menunjukan
bahwa di desa tersebut msih ada rasa kebersamaan yang masih begitu erat.
- ANALISA
Menurut saya, budaya ini sangat perlu dilestarikan, yang memang pada
zaman akhir-akhir ini budaya wayang sudah sangat amat jarang, minat akan budaya perwayangan ini sangat rendah
dikalangan remaja masa kini. Dengan adanya acara ini,selain bertujuan untuk
melestarikan budaya wayang. Dilihat dari sisi social, hal ini dapat menjadi
salah satu sarana pemersatu/gotong royong para warga, serta menjadi hiburan
yang mempunyai keistimewaan tersendiri, karena biasanya menceritakan asal mula
atau kejadian yang terjadi di desa tersebut. Dari sisi religinya sangat bagus,
tujuan
utamanya adalah mensyukuri kenikmatan yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa
berupa keselamatan bumi yang dipijak. Satu lagi yang perlu dietahui yaitu
supaya kita ingat selalu terhadap sang pencipta.
Hanya saja ada yang memang harus dikurangi, atau
dengan bahasa halusnya diperbaiki kembali, salah satuya adalah ketika
pelaksanaan wayang yang disertai budaya lengger, dalam hal ini,bukan budaya
lenggernya yang mungkin salah, tetapi karena anggota lengger tersebut identic
dengan pakaian-pakaian yang minim,membuka aurat yang berlebih, juga cara
ataupun pelaksanaanya yang kurang tertata,sehingga sering terjadi hal hal yang
tidak diinginkan, seperti halnya ‘nyawer lengger’ atau yang lain,yang dapat
menyebabkan kemaksiatan, akibatnya sangat fatal, terutama bagi orang orang yang
sudah beristri. Istri akan merasa malu,cemburu yang itu merupakan penyebab awal
dari pertengkaran rumah tangga, dan memang tidak jarang saya jumpai kasus
demikian.
Lalu, untuk mengantisipasi hal tersebut agar tidak
terjadi, maka seharusnya ketua/pemimpin acara tersebut mengatur atau dengan
kata lain membuat peraturan khususnya bagi anggota lengger agar tidak terlalu
seronok dalam berseragam dan membatasi waktu yang lebih efisien, ketika hal ini
tidak bisa dilakukan/deterapkan, menurut saya lebih baik dalam pergelaran budaya
ini tidak perlu disertai dengan budaya lengger.
Perlu diketahui bahwasanya acara ini bukan sebuah
kepercayaan. Dan bukan berarti masyarakat desa ini menggantungkan nasib/takdir
pada acara ini, ruwatan ini hanya salah satu bentuk rasa syukur dengan apa yang
telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa, dan pengharapan agar supaya kedepanya
dapat lebih baik lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar