Oleh : Nafsiyah Fahlavie
“NGOKK...Teot teblung,,, teot teblung” mungkin seperti itulah suara
kodok disawah belakang kamarku, akupun tak tau persis bagaimana bunyi
nyaringnya yang jelas bisingnya kodok bersama kawan-kawannya itu membikin penat
dikepala, “padatnya jadwal ujian dengan materinya sukar dipahami ditambah bunyi-bunyi
hewan-hewan yang seolah tanpa dosa itu semakin menggangguku”, gerutuku dalam
hati.
Entah mengapa setelah serah terima jabatan dan pelantikan
kepengurusan baru dan itu artinya aku sudah bebas dari belenggu dengan
embel-embel ‘Lurah Pondok’ aku merasa lebih disegani daripada sebelumnya,
seolah mereka menganggapku adalah orang yang benar-benar harus dituakan,
padahal aku sendiri masih enjoy dengan sifat kekanak-kanakanku ini, tapi dengan
adanya perlakuan itu dari mereka rasa tak nyamanpun menghinggap dalam diriku,
aku merasa dijauhi merasa asing dan merasa-merasa lainnya yang tidak mengenakan
hati. “duuuh sangatlah tidak nyaman merasa demikian”. Sebenarnya itu semua sebatas perasaanku saja, aku yakin mereka
hanya ingin menghormatiku dan bukan karena apa-apa. Apakah faktor usia juga
berpengaruh? sifat keegoisanku seolah melonjak tinggi dan aku sadar akan hal
itu, maka aku putuskan untuk segera meninggalkan pondok.Bukan hanya itu,
gejolak batin semakin melonjak banyak hal yang selalu membuatku ingin mengumpat
“ANJING....!!!!”
Dan begitulah setiap hari
kemenakanku dari jalur ayah bercerita ngalor ngidul mengenai dirinya yang tak
lagi nyaman dengan lingkungannya. Aku hanya tersenyum tanpa komentar yang
keluar dariku. orang yang dia pikir bisa membantu.
***
“assalamualaikum mba hilwa, tadi ada mba Ain ketempat saya minta
tolong sebarin undangan maulid Nabi, kira-kira ada lagi yang bisa saya bantu
tidak ?”. sebuah sms yang masuk di Hp ku beberapa hari yang lalu, dia memang
sering membantu aktivitas anak-anak pondok karena memang selain bertugas
bersih-bersih pondok juga harus siap membantu kami. “terus ngapain nanya aku ?
yang ngasih undangan kan mba ain ya aku nggak tau lah” sempat tertulis dilayar
Hp ku dan belum sempat menekan tombol ‘Yes’ aku berfikir kembali sekiranya itu
kurang sopan. Memang bebarapa bulan yang lalu kadangkala aku mengirim sms ke
Ahsin (begitu dipanggilnya) guna keperluan santri baru, entah meminta
menyiapkan tetek-bengek perlengkapan kamar, dan hanya itu tidak lebih. ! sekali
lagi aku tegaskan hanya itu tidak lebih ! dan malangnya aku ketika hal itu
deketahui oleh Pamanku yang kebetulan pengasuh Pondok, ia menyangka aku ada
apa-apa dengan ahsin, setiap kali dalam pengajian Abah (Pengasuh Pondok) selalu menyindir masalah jodoh yang awalnya
aku biasa saja lama kelamaan panas juga telingaku ini, kalaulah beliau bukan
orang yang aku kagumi ingin rasanya aku maju kedepan kemudian memprotes
kata-katanya itu.
Kembali ke pesan singkat tadi akupun membalas SMSnya “saya tidak
tau, coba tanyakan sendiri ke mbak Ain”, beberapa detik Hpku kembali bergetar
dengan sebuah SMS yang berbunyi “oh ya terimakasih nanti saya tanyakan
langsung”. Muak sekali rasanya membaca pesan singkatnya.
Semenjak Abah tau hal itu beliau sering memojokkanku dengan
ledekan-ledekan yang memuakan hati rasanya akan tetapi bagaimana lagi
kemungkinan beliau adalah orang yang paling menyayangiku di pondok, hanya
senyum manis yang berkali-kali aku sajikan ketika itu. Bagiku ledekan yang
mereka anggap bercanda adalah sebuah penghinaan, “aku santri yang berstatus
mahasiswa lha koq bisa-bisanya mereka mencomblangiku dengan santri biasa yang
bahkan baru dibilang masuk kemarin sore?” bukan gengsi ataupun apa kata itu
muncul bebarengan dengan rasa muaknya aku. Tidak lagi sekedar senyum sapa
ketika berpapasan dijalan atau di halaman parkiran, mendengar namanya pun muak
rasanya setiap kali ada teman yang meledekku lagi-lagi hanya senyum manis yang
aku berikan meski dalam hati mengumpat “ASU KABEH”.
“Nduk kamu itu kan pelajar bukan
pelacur bukan kelasmu lah kalau kata yang keluar darimu seperti itu, bisa saja
ANJING dalam ceritamu itu kamu sendiri” aku mencoba menjawab dengan kalimat
sekenanya. Beberapa hari setelah itu dia datang lagi dan mulai bercerita
kembali.
***
Dengan rutinitas yang seperti itu-itu saja, manusia-manusia itu
saja, dengan perlakuan mereka yang semakin menunjukan bahwa mereka benar-benar
‘anjing’ bising rasanya, membosankan sangat membosankan, rasa ketidakbetahan
kembali muncul dan semakin kuat.
Mencoba cerita ke beberapa kawan dan mereka menganggap aku
‘guyonan’ dan tanpa menghiraukan kata-kataku dengan santainya tertawa, dan
itulah khas kawan-kawanku yang tidak pernah menganggapku serius, tapi tidaklah
salah mereka karena pada kenyataanya masih sangat lama aku menuju pelaminan.
Bagaimanapun memaksanya tetap saja aku masih harus menunggumu duhai lelaki yang
aku sembah.bukan salah Abah, bukan salah orang-orang yang meledekiku dan memang
ini kesalahanku, jika memang dia jodohmu kenapa selama ini belum juga datang
melamarmu ? jika dia memang jodohmu kapan tanggal nikahmu ? “ya benar aku tidak
tau jawabannya, bahkan aku tidak tau kapan aku mengakhiri hubungan dengan
adanya pernikahan, semua hanya anganku saja dan apakah salah ? sedangkan sudah jelas
bahwa barang siapa yang sungguh-sungguh dengan angan-angannya maka dia akan
mencapai angan-angan yang diangan-angankannya” bentakku dalam hati sembari
beranjak meninggalkan segerombolan kawan-kawanku yang sedang ‘guyonan’ yang
mungkin akulah yang jadi bahan ‘guyonannya’.
Tanpa kemenakanku sadari disaat
beranjak meninggalkan kawan-kawannya dia melewati pagar kaca dan melihat
bayangan Anjing yang sesungguhnya.
***
Wonosobo, 09 Januari 2015