Jumat, 29 Mei 2015

ANJING



Oleh : Nafsiyah Fahlavie

“NGOKK...Teot teblung,,, teot teblung” mungkin seperti itulah suara kodok disawah belakang kamarku, akupun tak tau persis bagaimana bunyi nyaringnya yang jelas bisingnya kodok bersama kawan-kawannya itu membikin penat dikepala, “padatnya jadwal ujian dengan materinya  sukar dipahami ditambah bunyi-bunyi hewan-hewan yang seolah tanpa dosa itu semakin menggangguku”, gerutuku dalam hati.
Entah mengapa setelah serah terima jabatan dan pelantikan kepengurusan baru dan itu artinya aku sudah bebas dari belenggu dengan embel-embel ‘Lurah Pondok’ aku merasa lebih disegani daripada sebelumnya, seolah mereka menganggapku adalah orang yang benar-benar harus dituakan, padahal aku sendiri masih enjoy dengan sifat kekanak-kanakanku ini, tapi dengan adanya perlakuan itu dari mereka rasa tak nyamanpun menghinggap dalam diriku, aku merasa dijauhi merasa asing dan merasa-merasa lainnya yang tidak mengenakan hati. “duuuh sangatlah tidak nyaman merasa demikian”. Sebenarnya itu semua  sebatas perasaanku saja, aku yakin mereka hanya ingin menghormatiku dan bukan karena apa-apa. Apakah faktor usia juga berpengaruh? sifat keegoisanku seolah melonjak tinggi dan aku sadar akan hal itu, maka aku putuskan untuk segera meninggalkan pondok.Bukan hanya itu, gejolak batin semakin melonjak banyak hal yang selalu membuatku ingin mengumpat “ANJING....!!!!”
Dan begitulah setiap hari kemenakanku dari jalur ayah bercerita ngalor ngidul mengenai dirinya yang tak lagi nyaman dengan lingkungannya. Aku hanya tersenyum tanpa komentar yang keluar dariku. orang yang dia pikir bisa membantu.
***
“assalamualaikum mba hilwa, tadi ada mba Ain ketempat saya minta tolong sebarin undangan maulid Nabi, kira-kira ada lagi yang bisa saya bantu tidak ?”. sebuah sms yang masuk di Hp ku beberapa hari yang lalu, dia memang sering membantu aktivitas anak-anak pondok karena memang selain bertugas bersih-bersih pondok juga harus siap membantu kami. “terus ngapain nanya aku ? yang ngasih undangan kan mba ain ya aku nggak tau lah” sempat tertulis dilayar Hp ku dan belum sempat menekan tombol ‘Yes’ aku berfikir kembali sekiranya itu kurang sopan. Memang bebarapa bulan yang lalu kadangkala aku mengirim sms ke Ahsin (begitu dipanggilnya) guna keperluan santri baru, entah meminta menyiapkan tetek-bengek perlengkapan kamar, dan hanya itu tidak lebih. ! sekali lagi aku tegaskan hanya itu tidak lebih ! dan malangnya aku ketika hal itu deketahui oleh Pamanku yang kebetulan pengasuh Pondok, ia menyangka aku ada apa-apa dengan ahsin, setiap kali dalam pengajian Abah (Pengasuh Pondok)  selalu menyindir masalah jodoh yang awalnya aku biasa saja lama kelamaan panas juga telingaku ini, kalaulah beliau bukan orang yang aku kagumi ingin rasanya aku maju kedepan kemudian memprotes kata-katanya itu.
Kembali ke pesan singkat tadi akupun membalas SMSnya “saya tidak tau, coba tanyakan sendiri ke mbak Ain”, beberapa detik Hpku kembali bergetar dengan sebuah SMS yang berbunyi “oh ya terimakasih nanti saya tanyakan langsung”. Muak sekali rasanya membaca pesan singkatnya.
Semenjak Abah tau hal itu beliau sering memojokkanku dengan ledekan-ledekan yang memuakan hati rasanya akan tetapi bagaimana lagi kemungkinan beliau adalah orang yang paling menyayangiku di pondok, hanya senyum manis yang berkali-kali aku sajikan ketika itu. Bagiku ledekan yang mereka anggap bercanda adalah sebuah penghinaan, “aku santri yang berstatus mahasiswa lha koq bisa-bisanya mereka mencomblangiku dengan santri biasa yang bahkan baru dibilang masuk kemarin sore?” bukan gengsi ataupun apa kata itu muncul bebarengan dengan rasa muaknya aku. Tidak lagi sekedar senyum sapa ketika berpapasan dijalan atau di halaman parkiran, mendengar namanya pun muak rasanya setiap kali ada teman yang meledekku lagi-lagi hanya senyum manis yang aku berikan meski dalam hati mengumpat “ASU KABEH”.
“Nduk kamu itu kan pelajar bukan pelacur bukan kelasmu lah kalau kata yang keluar darimu seperti itu, bisa saja ANJING dalam ceritamu itu kamu sendiri” aku mencoba menjawab dengan kalimat sekenanya. Beberapa hari setelah itu dia datang lagi dan mulai bercerita kembali.
***
Dengan rutinitas yang seperti itu-itu saja, manusia-manusia itu saja, dengan perlakuan mereka yang semakin menunjukan bahwa mereka benar-benar ‘anjing’ bising rasanya, membosankan sangat membosankan, rasa ketidakbetahan kembali muncul dan semakin kuat.
Mencoba cerita ke beberapa kawan dan mereka menganggap aku ‘guyonan’ dan tanpa menghiraukan kata-kataku dengan santainya tertawa, dan itulah khas kawan-kawanku yang tidak pernah menganggapku serius, tapi tidaklah salah mereka karena pada kenyataanya masih sangat lama aku menuju pelaminan. Bagaimanapun memaksanya tetap saja aku masih harus menunggumu duhai lelaki yang aku sembah.bukan salah Abah, bukan salah orang-orang yang meledekiku dan memang ini kesalahanku, jika memang dia jodohmu kenapa selama ini belum juga datang melamarmu ? jika dia memang jodohmu kapan tanggal nikahmu ? “ya benar aku tidak tau jawabannya, bahkan aku tidak tau kapan aku mengakhiri hubungan dengan adanya pernikahan, semua hanya anganku saja dan apakah salah ? sedangkan sudah jelas bahwa barang siapa yang sungguh-sungguh dengan angan-angannya maka dia akan mencapai angan-angan yang diangan-angankannya” bentakku dalam hati sembari beranjak meninggalkan segerombolan kawan-kawanku yang sedang ‘guyonan’ yang mungkin akulah yang jadi bahan ‘guyonannya’.
Tanpa kemenakanku sadari disaat beranjak meninggalkan kawan-kawannya dia melewati pagar kaca dan melihat bayangan Anjing yang sesungguhnya.
***
Wonosobo, 09 Januari 2015